Kasih Ibu sepanjang masa Awan Ukaya

Kasih Ibu sepanjang masa

 

Kedua insan itu sungguh terhuyung-huyung dalam riak gelombang cinta. Tidak ada lagi kesadaran sepenuhnya, karena isi kepala mereka ikut menari, bergoyang tak tentu arah, menyesuaikan dengan arus yang juga semakin tak jelas, menghempaskan tubuh mereka ke segala arah. Akal tidak dapat lagi berpikir secara normal, karena terawang-awang bersama cinta yang memabukkan.

Gadis itu memang jelita, keanggunan parasnya nyaris dikatakan sempurna (jika ‘cinta gila’ masih mau meyakini yang dinamakan ‘kesempurnaan’ itu hanya milik Allah). Perihal itu yang menjadikan si Gadis merasa pantas untuk selalu bermanja, membebani pundak kekasihnya dengan berbagai pinta. Segalanya harus terkabulkan, sebagai syarat yang menguji kesungguhan hati sang kekasih. Bila memang tak ingin si gadis nan jelita pergi dan membuang rasa cintanya.

Apa hendak dikata, perasaan sayang si lelaki sebagai seorang kekasih memang begitu dalam. Keanggunan gadis itu memang telah meluluh lantakkan tiang kesadaranya. Apapun akan ditempuh agar dapat membahagiakan pujaan hati, ucapanya adalah kewajiban yang lekas dituruti.

Mengenai kekayaan, harta si lelaki memang tak berbilang. Berbahagialah gadisnya dengan segala kilau perhiasan yang diberi dan tersemat sebagai kadar pengukuhan diri. Apa lagi yang dicari, jika memang harta yang terpenting untuk memikat beribu gadis di bumi ini.

Tapi ternyata,…harta pun belum mencukupi. Sesungguhnya inilah misteri yang tersimpan di relung hati setiap wanita. Sulit ditebak, walau dibantu dengan nujum apapun. Mereka membutuhkan perhatian karena selalu dahaga akan kasih sayang. Jika terkadang harta menyilaukan dan terbit keinginan untuk memiliki, itu hanya karena tabiat ‘mempercantik diri’ yang takkan hilang oleh masa, karena bukankah kata ‘cantik’ hanya pantas disandang wanita.

Oleh karena itu, si gadis terus saja ingin menguji perasaan cinta sang kekasih. Kali ini dengan sebuah permintaan yang sangat luar biasa. Terhenyaklah si lelaki ketika mendengarkanya. Kelanjutan cintanya bukan hanya diuji, tetapi harus merelakan nuraninya terhempas jauh dalam pertarungan cinta di dunia.

“Maukah kau mempesembahkan jantung Ibumu kepadaku”

Cinta memang gila, yang dapat membutakan segalanya. Karena cinta, dunia serasa surga. Akan tetapi, berpikirkah para pecinta bahwa kiamat pun serasa dekat jika mereka salah mempersepsikan yang sejati.

Malam itu, di kala seluruh penghuni rumah sedang terlelap bersama mimpi. Si lelaki tersentak dari kelam tidurnya, permintaan pujaan hatinya terus saja bergelayut dalam kalbunya. Gejolak perasaanya telah bercampur baur, diaduk-aduk oleh emosi, cinta dan hati nurani. Siapakah yang akan memenangkan pertarungan segitiga ini ???.

 

Ternyata dia memang pecinta sejati, karena sanggup gila karena cinta. Masalah akal dan nurani akhirnya menjadi urutan yang jauh tertinggal, cintanya lah yang terdepan dan menjadi pemenang.

“Maafkan aku Ibu, karena lebih memilih dia. Di usia rentamu kini, aku rela kau pergi asal bukan dia yang meninggalkanku. Kau sudah seharusnya hidup dengan tenang. Jika tidak dapat kau raih bahagia di alam fana ini, mungkin patut di alam selanjutnya nanti. Aku adalah anak yang kau besarkan dengan limpahan kasih sayang, rasa cintaku juga besar terhadapmu. Tapi aku tetap hanyalah seorang anak, yang tak kan mampu sebanding membalas cintamu. “Maafkanlah aku Ibu…”

Kilatan belati tajam telah menghujam dada wanita renta itu, ketika tak tersadar dalam lelap yang belum terjaga. “Kadang cinta memang tak bernurani”. Rintihan dan derai air mata hanyalah sesal yang percuma, karena nyawa telah diregang dan kemudian dia pergi seakan tak terjadi apapun.

Pikiran gila telah membuat si lelaki girang dengan baju bersimbah darah. Langkah kaki dipercepat, berlari, dan tak pedulikan terjal belantara. Seperti juga tidak perduli, banyak langkah derita yang membuat kaki ibu bernanah demi kehidupan anaknya hingga dewasa, berakal dan menemukan cinta dan dunianya sendiri.

Dia terus saja berlari bertambah kencang, niat yang menggebu untuk bertemu sang pujaan hati.

” Lihatlah kekasih, telah kupenuhi pintamu. Telah kubuktikan kesungguhan cintaku “.

Cinta tak berakal tentu tak mempunyai mata hati, cinta yang buta, dapat membuat terjerembab. Seperti si lelaki yang tak melihat aral dihadangnya. Dia terjatuh dengan naas, berguling ke arah curam, kepalanya terbentur sebatang pohon kokoh, kemudian berujung pada sebuah batu besar. Kali ini, darah segar yang mengalir dari tubuhnya sendiri.

Penglihatanya sayu menahan sakit raga yang tidak terkira. Kemanakah perginya kegirangan ‘gila’, yang kini berganti dengan situasi yang hampir saja turut mengambil sisa nyawanya. Di tengah penglihatan yang semakin kabur, teronggok daging itu di hadapanya. “Jantung Sang Bunda”. Dia coba menggeliat untuk meraihnya, masih saja tersisa niat ‘gila’ itu. Tapi tidak sebanding dengan upaya yang bisa dilakukanya kini. Seluruh badanya telah lemah tak berdaya, lebih tragis karena kedua tangan dan kakinya patah.

Di dalam situasi seperti itu, terdengar bisikan lirih. Entah darimana suara itu. Dia berusaha meyakinkan pendengaran sebisanya. Ternyata suara itu berasal dari seonggok daging di hadapanya, “Tidak Mungkin”…tapi ‘jantung’ itu benar bersuara…

“Apakah kau terluka Nak”…

Kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan…