Ikan, Burung, dan Manusia
Suatu hari, ada tiga orang pemuda yang sedang bermain – main di pinggir pantai. Mereka menikmati suasana pantai yang sangat sejuk. Mereka pun tidak lupa menceburkan diri ke laut. Setelah merasa cukup, mereka keluar dari air dan berjemur. Di tengah suasana santai tersebut, ada seorang pemuda yang berucap, “Ah, alangkah nikmatnya jika kita bisa menjadi ikan. Kita akan dapat dengan bebas berenang ke sana ke mari. Dan mungkin kita tidak akan pernah merasa gerah.”
Baru beberapa saat setelah pemuda pertama berhenti berucap, kemudian pemuda kedua menyambung dengan berkata, “Mungkin rasanya menyenangkan juga jika kita bisa menjadi burung. Lihatlah burung! Burung bisa terbang ke tempat yang sangat jauh dan menikmati pemandangan yang indah dari atas sana.”
Mendengar pernyataan kedua temannya, pemuda ketiga ikut berujar, “Kenapa kita tidak pernah mengatakan alangkah nikmat dan menyenangkannya menjadi seorang manusia? Bukankah Allah telah memberi kita potensi yang tidak Dia berikan kepada kaum ikan ataupun burung. Ya, memang kita tidak bisa terbang seperti burung. Tetapi dengan menggunakan kemampuan, manusia bisa membuat pesawat atau alat – alat lain yang bisa membawa kita terbang seperti burung. Di dalam pesawat, bukankah kita bisa makan, tidur, berpikir. Dibandingkan seekor burung, berapa banyak ekor burung yang bisa makan atau tidur pada saat dia terbang? Mungkin, tidak ada.”
Pemuda ketiga melanjutkan, “Sama juga dengan ikan. Seekor ikan tidak pernah melihat daratan dan tidak bisa terbang mengarungi angkasa. Jikapun bisa, ikan tidak bisa bertahan lama.
Jadi, kenapa kita tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita?”
Sumber dari buku Memetik Cahaya Allah karya Asef Umar Fakhruddin