Enam Nasihat Imam al-Ghazali
Suatu hari, Imam al-Ghazali mengisi taklimnya dan murid – muridnya mengelilinginya. Lalu dia bertanya kepada murid – muridnya.
Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” murid – muridnya menjawab orang tua, guru, sahabat, kerabat, dan sebagainya. Al-Ghazali membenarkan jawaban – jawaban itu. “Tetapi, yang paling dekat dengan kita adalah kematian karena Allah telah berjanji bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.”
Kedua, al-Ghazali bertanya, “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” murid – muridnya menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan sebagainya. Al-Ghazali membenarkan semua jawaban itu. “Tetapi yang paling jauh dari kita adalah masa lalu. Bagaimanapun, apapun kendaraan yang kita pakai, kita tetap tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Oleh karena itu, kita harus menjaga hari ini dan hari yang akan datang dengan amal shalih.”
Ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab gunung, bumi, matahari, dsb. Semua jawaban itu benar. “Tapi yang paling besar di dunia ini adalah hawa nafsu. Maka berhatilah-hatilah dengan hawa nafsu.”
Keempat, “Apa yang paling berat di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab baja, batu, besi, dsb. Semua jawaban itu benar. “Tapi yang paling berat adalah memegang amanah. Gunung, binatang, malaikat sekalipun tidak mampu memikul amanah ketika Allah meminta merekan menjadi khalifah di bumi. Namun, manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah tersebut. Dan karena hal itu, banyak dari manusia yang masuk neraka karena tidak sanggup memegang amanahnya.”
Kelima, “Apa yang paling ringan di dunia ini?” murid-muridnya menjawab kapas, angin, debu dan lainnya. Jawaban itu tidak salah. “Namun yang paling ringan adalah meninggalkan sholat.”
Keenam, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab pisau, pedang dan lainnya. Jawaban tersebut tidak salah. “Tetapi yang paling tajam adalah lidah manusia. Karena lidahlah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan perasaaan saudaranya sendiri. Bahkan, tidak sedikit permusuhan dan pertumpahan darah terjadi karena fitnah lidah.”
Referensi dari buku Chocolate of Happiness karya Joni L.Efendi